kursor

Cute Polka Dotted Pink Bow Tie Ribbon

Minggu, 26 Juni 2011

Kecurangan Ujian Nasional

UN (Ujian Nasional bukan United Nations) kayaknya saat ini sudah berubah menjadi teror yang menakutkan sekaligus mengkhawatirkan bukan hanya bagi para siswa yang akan melaksanakannya tetapi juga bagi para orangtua yang takut anaknya tidak lulus UN dan juga bagi para guru dan pihak sekolah yang ikut khawatir nilai kelulusan di sekolahnya rendah.
Kekhawatiran itu tentu saja beralasan, karena proses belajar selama bertahun-tahun dengan mengikuti sekian banyak mata pelajaran hanya akan ditentukan oleh ujian yang akan dilaksanakan dalam 3 harian dengan nilai kelulusan yang hanya ditentukan oleh beberapa gelintir mata pelajaran yang bila gagal maka siswa tersebut harus mengulang.  Sia-sialah jerih payah siswa mempelajari sekian banyak mata pelajaran selama ini.
Memang sebuah ironi dari ketidakadilan muncul disini.  Proses belajar dengan pengorbanan biaya, waktu dan tenaga, terlebih lagi jika siswa tersebut berprestasi akan menjadi tidak berarti karena yang akan menentukan kelulusan siswa hanyalah beberapa mata pelajaran saja. lalu untuk apa bersusah payah belajar sekian tahun dengan mengikuti sekian mata pelajaran dan berusaha menjadi siswa yang berprestasi jika semua itu tidak akan membantu kelulusannya kelak?
Kemendiknas memang menyatakan bahwa mulai tahun ini (2011) kelulusan siswa tidak hanya akan ditentukan oleh Ujian Nasional saja tetapi juga akan ditentukan oleh hasil Ujian Sekolah dan prestasi siswa yang bersangkutan.  Jadi Ujian Nasional hanya merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi kelulusan siswa dan bukan merupakan faktor utama.
Tetapi yang menjadi masalah adalah selama ini masyarakat seolah sudah begitu terpaku dengan pengkondisian Ujian Nasional sebagai satu-satunya syarat kelulusan, bahkan mungkin tidak tahu dengan kebijakan yang baru ini karena kurangnya sosialisasi.  Di republik ini seolah sosialisasi program merupakan langkah yang sangat sulit sehingga lebih mendahulukan menjalankan program daripada melaksanakan sosialisasi terlebih dahulu.
Akibatnya semua orang baik siswa, orangtua dan guru-guru akan berusaha dengan sekuat tenaga agar bisa memperoleh hasil terbaik saat menjalankan Ujian Nasional.  Tentu saja hal itu merupakan hal yang sah-sah saja dan lumrah dilakukan, tetapi yang menjadi berbahaya adalah jika upaya mendapatkan nilai terbaik itu dilakukan dengan cara yang curang dan tentu saja ilegal.
Karena merupakan suatu keharusan untuk mendapatkan nilai terbaik agar lulus Ujian Nasional sebagian siswa memilih jalan haram dengan cara berbuat curang seperti mencontek atau mencari kunci jawaban Ujian Nasional.  Jika hal ini dibiarkan kedepannya bisa memunculkan generasi-generasi yang berjiwa kerdil yang hanya ingin mudahnya saja, generasi yang menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.  Jika sudah seperti itu... mau dibawa kemana republik ini ?
Hal itu akan menjadi lebih berbahaya jika kecurangan tidak hanya dilakukan oleh siswa saja tetapi juga dilakukan oleh pihak sekolah yang ingin nilai kelulusan sekolahnya tinggi, akibatnya akan terjadi kecurangan massal yang tersistematis dan terstruktur.
Saya tidak ingin berbicara terlalu banyak tentang Ujian Nasional, tentu saja sistem kelulusan ini tetap harus dievaluasi secara menyeluruh dan dibuatkan sistem baru yang mengakomodir seluruh proses belajar siswa selama bertahun-tahun agar nantinya tidak akan merugikan siswa dan sistem pendidikan itu sendiri.
Mari kita renungkan hal yang lain berkaitan dengan kecurangan ini.  Mengapa orang begitu mudahnya melakukan kecurangan dan tidak malu melakukannya seolah-olah hal itu merupakan hal biasa yang wajar dilakukan.  Banyak orang berteriak hal itu terjadi akibat sistem yang memungkinkan terjadinya kecurangan sehingga sistem harus dirubah, pendapat itu tentu saja benar, tetapi saya memiliki pemikiran lain.
Sistem itu adalah buatan manusia... adalah pilihan manusia untuk berbuat curang atau tidak... sistem sebaik apapun selalu memiliki celah untuk dicurangi... pada akhirnya akan kembali pada nilai-nilai yang dianut seseorang, apakah dia memiliki nilai yang “anti kecurangan” atau  nilai “it’s ok curang sedikit”.
Setiap manusia, setiap individu merupakan bagian dari keluarga, sedikit banyak nilai-nilai keluarga akan tertanam dalam dirinya mulai dari dia kecil hingga dewasa... dan hal itu biasanya merupakan proses yang berjalan lama dan seringkali tidak disadari.  Proses penanaman nilai ini akan dimulai sejak seseorang masih kecil yang kebanyakan didapat dari orangtuanya.  Tetapi yang menjadi masalah adalah walaupun semua orangtua menginginkan anaknya menjadi orang baik tetapi seringkali secara tidak disadari orangtua justru melakukan suatu tindakan atau menunjukan hal-hal yang berbeda dengan harapannya.  Dan dengan tidak disadari pula ternyata orangtua malah mengajarkan anaknya nilai-nilai buruk ketimbang nilai-nilai baik.  Karena hal itu sepertinya sepele sehingga banyak orangtua yang tidak menyadarinya.  Tetapi karena dilakukan berulang-ulang suatu saat nanti bisa menjadi masalah serius.  Kotoran kecil jika dibiarkan tidak segera dibersihkan akan melekat terus dan nantinya bisa berubah menjadi kotoran besar.  Akibatnya setelah besar nanti dia akan menjadi orang yang sanggup dan tidak malu untuk berbuat curang.  Jadi menurut saya, pada dasarnya semua itu dimulai dari pola asuh dalam keluarga.  Jika pola asuh orangtua dalam keluarga menunjukan konsistensi antara perkatan dan perbuatan bukan hanya pada diri anak saja tetapi juga konsistensi antara perkataan dan perbuatan orangtua maka anak bisa mendapatkan nilai-nilai yang positif.  Tetapi jika pola asuh keluarga tidak menunjukan konsistensi perkataan dan perbuatan terutama dari orangtua yang nantinya akan ditiru anak maka anak cenderung akan mendapatkan nilai negatif ketimbang nilai positif. 
Sebagai contoh: sulit bagi orangtua untuk melarang anaknya merokok jika orangtua sendiri merokok, sulit bagi orangtua melarang anaknya nonton video porno jika orangtuanya gemar nonton video porno, sulit bagi orangtua menyuruh anaknya sholat jika orangtua sendiri tidak sholat.  Jadi pola asuh dalam keluarga itu sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai positif temasuk nilai “anti kecurangan”.  Jangan lupa bahwa anak itu cenderung meniru apapun (dengan cepat) yang dilakukan orang disekitarnya terlebih orangtuanya.  Jadi jika tidak ingin anak mudah melakukan kecurangan kecil yang setelah besar bisa saja melakukan kecurangan besar, jangan berikan anak kesempatan untuk meniru perbuatan buruk kita, besar atau kecil, dengan cara “berusaha tidak melakukan perbuatan buruk sekecil apapun”.
Sebagai renungan, saya ingin memberikan beberapa contoh pernyataan terkait dengan pola asuh ini: Jika Anda naik motor dan Anda membiarkan anak Anda tidak memakai helm sementara Anda sendiri memakai helm dan jaket maka Anda telah mengajarkan anak Anda bersikap egois dan hanya memikirkan keselamatan diri sendiri.
Jika Anda naik mobil dan tidak menggunakan seatbelt maka Anda pun telah mengajarkan anak Anda bersikap egois dan hanya memikirkan keselamatan diri sendiri.
Jika Anda naik kendaraan di jalan raya kemudian Anda melanggar peraturan lalu lintas baik lampu merah atau rambu lainnya maka Anda telah mengajarkan anak Anda berbuat licik, curang dan tidak disiplin.
Jika Anda ngebut di jalan raya, berarti Anda telah mengajarkan anak Anda ketidaksabaran, kasar dan ketidakpedulian pada orang lain.
Jika Anda berjalan bersama anak Anda dan anak Anda berjalan pada bagian yang lebih dekat ke badan jalan sedangkan Anda sendiri berjalan di bahu jalan berarti Anda telah membahayakan hidupnya karena jika terserempet kendaraan maka anak Andalah yang pertama kali kena, dan Anda pun telah mengajarkan anak Anda egoisme.
Jika Anda merokok maka Anda telah mengajarkan anak Anda sikap boros dan sikap merusak diri sendiri dan orang lain.
Jika Anda berjanji pada anak Anda untuk melakukan sesuatu tetapi Anda tidak menepatinya maka Anda telah mengajarkan suatu kebohongan pada anak Anda.
Jika Anda sangat memanjakan anak Anda dan selalu menuruti semua keinginan anak, maka Anda telah menjadikannya manusia lemah, tidak mandiri dan sangat tergantung pada orang lain.
Jika Anda sering memarahi dan mudah menyalahkan anak Anda maka Anda telah menjadikan anak Anda pribadi-pribadi yang rendah diri,  tidak memiliki rasa percaya diri, penuh amarah dan pendendam.
Jika Anda sering berteriak kepada anak Anda maka Anda telah membunuh karakter mereka.    
Jika Anda terlalu mengekang anak Anda maka Anda telah membuat anak Anda menjadi orang yang tidak percaya akan lingkungannnya dan  akan melahirkan jiwa-jiwa pemberontak pada diri anak Anda.
Jika Anda suka bertengkar di depan anak Anda maka Anda telah mengajarkan bagaimana bersikap kasar kepada anak Anda.
Jika Anda sering menakut-nakuti anak Anda bahkan dengan hal-hal yang sepertinya kecil, “hiii...awas ada kodok”, “awas ada hantu”, maka anak Anda akan memiliki jiwa penakut.
Jika Anda memaksakan keinginan dan kehendak kepada anak Anda maka Anda telah mematikan kreatifitas mereka dan membuat jiwa mereka tumpul.
Jika Anda tidak pernah sekalipun mengikuti keinginan mereka maka Anda akan melahirkan jiwa-jiwa yang apatis.
Jika Anda tidak pernah merangkul anak Anda dan mendekapnya dalam dekapan Anda, tidak pernah memberinya kecupan sayang maka Anda akan melahirkan jiwa-jiwa yang dingin pada anak Anda.
Kelihatannya sepele, bukan?  Tapi jika hal itu dilakukan secara terus menerus,  coba aja lihat hasilnya nanti.
So guys, mengkritisi sistem pendidikan memang perlu, tetapi jangan lupa mengkritisi sistem pendidikan diri kita sendiri, karena orang akan sangat mudah menyalahkan orang lain ketimbang melakukan introspeksi diri.

1 komentar: